Press "Enter" to skip to content
 

Menumbuhkan Semangat Kolaborasi – Catatan dari FGD Kawasan Teluk Bone

Oleh: Muchtar Luthfi A. Mutty (Anggota DPR-RI 2014-2019)

LSM Jejaring Teluk Bone bekerjasama dengan HIPMI Sulsel melaksanakan FGD Kawasan Teluk Bone. Saya diundang jadi pembicara.

FGD ini sejatinya sangat penting untuk menumbuhkan sinergitas para pihak yang berada di kawasan ini. Sayangnya mayoritas yang hadir hanya kalangan birokrat. Unsur kampus ada yang hadir. Tapi sangat terbatas. LSM juga demikian. Tetapi dunia usaha, komunitas nelayan dan petani, mungkin ada, tapi saya tidak melihatnya.

Sejak 2008 upaya kerjasama kawasan sudah dirintis. 2012 kerjasama diformalkan lewat Perjanjian Kerjasama. Ditandatangani Gub. Sulsel SYL dan Gub Sultra Nur Alam. 7 tahun berlalu. Namun kerjasama tidak jelas perkembangannya. Mati suri. Maka saya sangat mengapresiasi FGD ini. Saya berharap FGD dapat menginventarisir potensi kawasan. Semoga bisa dikelola menjadi sebuah “incorporated” untuk kemajuan kawasan sekaligus menjawab tantangan yang ada.

Pada kesempatan itu, saya lebih banyak membahas kerjasama kawasan dalam perspektif otoda. Bahwa otoda bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dan untuk meningkatkan daya saing daerah.

UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda pasal 368 mengatur kerjasama antar daerah. Tindaklanjutnya adalah PP No.28 Tahun 2018. Sejalan dengan tujuan pemberian otonomi, maka kerjasama daerah dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik.

READ:  Kenali Baik-baik Sebelum Coblos Calegmu!

Terkait dengan itu, saya fokus membahas tantangan kawasan. Alasannya, beberapa indikator sosial menunjukkan bahwa kawasan ini menghadapi masalah serius. Tingkat ketimpangan berdasarkan Gini rasio Sultra di angka 0,399 (propinsi dengan tingkat ketimpangan ke 4). Sulsel 0,388 (urutan 7). Keduanya di atas angka ketimpangan nasional (0,383).

Dari segi kemiskinan, kedua daerah juga tidak terlalu bagus. Persentase kemiskinan Sulsel (8,69%) berada di urutan ke 18 provinsi termiskin. Memang di bawah angka kemiskinan nasional (9,41%). Tetapi Sultra dengan tingkat kemiskinan 11,24% berada di atas angka nasional. Dan menempati urutan 13 provinsi termiskin. dengan 22,71%

Untuk buta huruf, persentase kedua daerah ini juga parah. Berada di atas nasional (0,8%). Sulsel dengan jumlah buta huruf 2,02%, berada di urutan 5 dengan tingkat buta huruf tertinggi nasional. Sementara Sultra berada di urutan 9 dengan tingkat buta huruf 1,08%.

READ:  Strategi Digital Marketing Untuk Caleg

Yang lebih parah adalah prevelansi stunting. Persentase stunting nasional saat ini 27,5%. Artinya, 1 dari 3 balita menderita stunting. Sulsel berada di urutan 3 terburuk nasional. Angka stuntingnya 35,6%. Sultra urutan 11 dengan 29,5%.

Berbagai tantangan sosial di atas mengharuskan pemda di kawasan ini untuk memberi perhatian yang sungguh-sungguh. Jika tidak, maka bonus demografi yang akan terjadi 20 hingga 30 tahun ke depan, akan menjadi malapetaka. Artinya, alih-alih akan menyejahterakan rakyat, otonomi justru gagal melaksanakan fungsinya.

Kawasan ini juga menghadapi masalah lingkungan yang serius. Penyebabnya adalah eksploitasi tambang, budidaya pertanian dan tambak.

Di situlah makna kerjasama kawasan. Memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk menyejahterakan rakyat dan menjawab tantangan yang ada. Seluruh stakeholders perlu duduk bersama. Pemda, dunia usaha, investor, perguruan tinggi, petani, nelaya harus terlibat.

Kita berharap agar forum kerjasama kawasan yang sudah diformalkan sejak 2012, tidak terhenti hanya sampai pada penandatanganan kesepakatan.

Menurut saya, penyebab utamanya macetnya kerjasama ini karena semangat persaingan antar daerah begitu tinggi. Egoisme daerah jauh melampaui semangat kolaborasi.

READ:  Inilah 3 Syarat Utama Seorang Caleg Agar Layak Dipilih Rakyat

Membangun kolaborasi memang bukan perkara gampang. Mudah dicapkan. Sulit dilaksanakan. Diperlukan rasa saling percaya. Mau saling memberi dan menerima. Tidak boleh saling curiga. Masing-masing pihak harus mau menurunkan ego kedaerahan. Dan itu perlu waktu.

Usia kerja pimpinan daerah maksimal 10 tahun. Sementara birokrat yang terbiasa bekerja rutin, miskin inovasi dan bekerja sesuai “pakem”, rasa-rasanya terlalu naif mengharapkan munculnya gagasan incorporated dari mereka. Perlu ada trobosan “out of the box“. Maka keterlibatan kampus dan berbagai pihak mutlak adanya.

Stakeholders ini perlu terus menerus duduk bersama, berdiskusi, membuat simulasi, membangun model kerjasama, menyusun road map dan action plan. Semua itu diharapkan menjadi acuan pemda dalam menumbuhkan pola kerjasama kawasan.

Terakhir, pemerintah pusat harus turun tangan. Menggandeng lembaga-lembaga yang kompeten untuk membimbing pemda dalam mendisain kerjasama. Selain itu, sudah saatnya ada inovasi model insentif kepada daerah. Selama ini model insentifnya memacu persaingan antar daerah. Ke depan, insentif diberikan kepada daerah-daerah yang dapat berkolaborasi membangun kawasan.